Saturday, September 21, 2013

makalah hukum acara

BAB I
PENDAHULUAN

A.            LATAR BELAKANG

          Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Dalam makalah ini kelompok kami mengambil kasus ganti rugi yang di alami oleh aktor Roy Martin dimana dia tertangkap kedua kalinya untuk kasus narkoba di kota pahlawan Surabaya, apalagi sebelum tertangkap Roy Marten menjadi tamu bagi Jawa Pos dan Badan Narkotika Nasional (BNN) memberi testimoni anti-narkotika dan diantara pelaku yang ditangkap bersama Roy Marten juga terdapat residivis narkoba Lainnya. Dan juga tak luput Artis rock Ahmad Albar juga ditangkap tim reserse Mabes Polri karena diduga terlibat kasus penemuan 490 ribu butir ekstasi di apartemen Taman Anggrek, Jakarta Barat.Hal ini seharusnya pelajaran bagi bangsa ini bahwa peredaran Narkoba sangat kuat di masyarakat, efek jera dari hukuman pidana bagi pengguna dan pengedar tidak akan pernah mampu memutus rantai peredaran narkoba. Bahkan seorang yang dianggap sebagai aktivis anti-narkoba pun seringkali tertangkap basah oleh aparat sedang menggunakan narkoba dan tidak tertinggal pejabat di lingkungan PNS juga sama saja. Pada intinya siapapun orangnya dapat terlibat dalam penyalahgunaan Narkoba ini, mulai anak sekolah sampai para pejabat bisa saja menyalahgunakan barang haram ini.Sekarang yang menjadi pertanyaannya, apakah bangsa ini serius memberantas narkoba? Sementara Kita tahu bahwa aparat berwenang sudah berusaha dari menangkap produsen, pengedar maupun pemakai dan mereka juga sudah diberikan hukuman sesuai dengan hukum berlaku di Bangsa ini. Namun masih saja kasus narkoba ini makin menjadi-jadi bahkan yang menjadi incaran para bandar narkoba sekarang ini bukan saja para kalangan artis dan entertainment bahkan para remaja dan anak di bawah umur pun menjadi sasarannya. Terkait masalah tersebut dalam makalah ini dibahas mengenai kasus narkoba Roy marten.

B.     TUJUAN MASALAH

          Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Sistem Hukum Indonesia. Selain itu bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana acara dalam pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi dengan menganalisis kasus. Kasus yang dianalisis dalam makalah ini yaitu tentang kasus narkoba yang menimpa artis senior Roy Marten.

C.     RUMUSAN MASALAH
1.        Apa pengertian dari pra perdailan, ganti kerugian dan Rehabilitasi?
2.        Bagaimana proses dalam acara pra perdailan?
3.        Menjelaskan wewenang pra peradilan?
4.        Mennganilis kasus yang bersangkutan dengan pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi.









BAB II
PEMBAHASAN

1.        PENGERTIAN PRA PERADILAN
                                             
Arti pra peradilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan Negeri untuk memberikan dan memutus cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
·           Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
·           Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
·           Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan bertujuan untuk kepentingan penggunaan terhadap perlindungan hal-hak tersangka atau terdakwa agar para penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum tidak berbuat sewenang-wenang ditingkat pemeriksaan karena pada dasarnya tersangka atau terdakwa belum dianggap bersalah(praduga tidak bersalah), Praperadilan bukan badan tersendiri akan tetapi merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri.Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah  memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan), serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata – mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang karena kekeliruan orang atau hukum.

2.        WEWENANG PRA PERADILAN

Wewenang pra peradilan secara sepintas telah dikemukakan dalam pasal  1 angka  10 KUHAP. Kewenangan tersebut lebih di tegaskan lagi dalam pasal 77 jo pasal 82, pasal 95 dan pasal 97 KUHAP. Pra peradilan sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal tersebut di atas berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang :
1.        Sah atau tidaknya penangkapan , penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh jaksa  Agung) sebagaimana ditentukan pasal 77 KUHAP.
2.        Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian  (pasal 82 ayat 1 dan 3 KUHAP.
3.        Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau penangkapan atau penahanan , karena dituntut dan diadili serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak di ajukan ke pengadilan negeri (pasal 95 ayat 2 KUHAP jo pasal 77 huruf b KUHAP.
4.        Permintaan rehabilitas oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan negeri (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 huruf b KUHAP).
3.        ACARA PEMERIKSAAN PRA PERADILAN.

Acara pra peradilan di atur dalam pasal 82 dan 83 KUHAP  sebagai berikut :
1.        Setelah permintaan pemeriksaan pra peradilan oleh mereka yang tersebut dalam pasal 79, 80, 81, 95 ayat (2) dan 97 ayat (3) KUHAP di jatuhkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan di catat dalam Register Perkara Praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri . maka pada hari itu juga pejabat yang di tunjuk untuk menyampaikan permintaan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri  atau wakil ketua , harus segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara ( pasal 77 ayat (2) KUHAP ).
2.        Setelah hakim tunggal dan paniteranya  di tunjuk. Dalam waktu 3 hari hakim pra peradilan tersebut harus segera menetapkan hari sidingnya dengan memanggil pula tersangka atau pemohon maupun pejabat yang berwenang untuk di dengar di persidangan antaralain pihak termohon. ( pasal 82 ayat (1) huruf a dan b KUHAP).
Pemeriksaan dilakukan  di secepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah memutuskan perkaranya. ( pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP).
Berita acara dan putusan pra peradilan dibuat seperti untuk acara pemeriksaan singkat.
1.        Dalam hal suatu pemeriksaan pra peradilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya  sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, maka permintaan pemeriksaan pra peradilan harus dinyatakan gugur ( pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP)
2.        Putusan pra peradilan pada tingkat penyelidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan pra peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP)
3.        Putusan hakim pra peradilan, selain harus memuat dengan jelas dasar dan alasan untuk  “mengabulkan “ atau “menolak” permintaan pemeriksaan itu (pasal 82 ayat (2) KUHAP), maka dalam amar  putusannya juga hrus di cantumkan pula ketentuan-ketentuan tersebut, yang tercantum dalam pasal 82 ayat (3) KUHAP yaitu:
a)    Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau penyelidik atau jaksa penuntut umum sesuai dengan tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b)   Dalam hal putusan memetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyelidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c)    Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
d)   Dalm hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
4.        Terhadap putusan pra peradilan tidak dapat diminta banding (pasal 83 ayat (1) KUHAP).
Khusus terhadap putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka atas permintaan pihak-pihak ( antara lain penyidik atau penuntut umum) berhak mengajukan permintaan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yangbersangkutan. ( pasal 83 ayat (2) KUHAP). Putusan pengadilan tinggi harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.


4.     PENGERTIAN GANTI KERUGIAN

          Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
          Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).
          Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.

5.        ACARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN

          Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
          Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
          Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).
          Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
          Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
          Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
          Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.
          Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan kerugian.
          Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.
          Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.
          Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut.
          Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.
          Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.

6.        PASAL – PASAL YANG MENGATUR TENTANG HAK UNTUK MEMPEROLEH GANTI RUGI

          Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Ø  Pasal 95
(1)    Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,  dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2)    Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3)    Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
 (4)    Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5)    Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Ø  Pasal 96
 (1)    Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
 (2)    Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

7.        REHABILITASI
  1. Pengertian Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
2.      Alasan Rehabilitasi
Baik sebagai alasan tuntutan ganti kerugian maupun alasan tuntutan rehabilitasi, yang dimaksud oleh KUHAP bersifat limitatif, artinya terbatas atas hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan KUHAP saja.
          Untuk alasan-alasan rehabilitasi disebutkan oleh pasal 97 sebagai berikut :
  1. Putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  2. Ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang ditetapkan, akan tetapi perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
Salah satu alasan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ialah tindakan melawan hukum harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. Tidak bertentangan dengan suatu peraturan hukum ;
  2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan lakukan tindakan kejahatan ;
  3. Tindakan itu harus patut dan masuk dalam lingkungan jabatannya ;
  4. Dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa ;
  5. Menghormati hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat 1 angka 4) :
  6. Tuntutan Rehabilitasi
          Tuntutan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat 3 KUHAP, diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon (tersangka, keluarga atau kuasanya, pasal 12 PP No. 27 tahun 1983).










































BAB III
ANALISIS KASUS

Dalam pembahasan kali ini yang menyangkut materi pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi kami mengambil satu kasus yang berkaitan dengan materi tersebut yaitu kasus yang terjadi pada artis senior di Indonesia yaitu Roy Martin.
Pada tanggal 13 November 2007 Roy tertangkap dengan keempat temannya di Hotel Novotel Surabaya di Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Pada saat penangkapan, polisi menemukan barang bukti, 1 gram dan 1 ons shabu-shabu di kamar 364 Hotel Novotel. Di kamar berbeda yaitu kamar 465, polisi juga mendapati seperangkat alat hisap (bong) dan sisa di aluminium foil SS 0,5 ons. Ironis sebenarnya, karena Roy ternyata ditangkap usai memberikan testimoni di acara yang digelar Badan Narkotika Nasional (BNN). Roy Marten datang ke Surabaya untuk memberi testimoni di acara penandatangan MoU Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan sebuah harian di Ruang Semanggi lantai V Graha Pena Jalan Ahmad yani 88 Surabaya, Sabtu (10/11/2007) lalu. MoU tersebut dibuat dalam rangka pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika (P4GN). Acara yang dihadiri oleh Kapolri, Jenderal Sutanto dan beberapa pengusaha serta kaum profesional yang peduli narkoba tersebut untuk mendukung setiap kegiatan yang dilakukan P4GN.
Roy Marten akan mulai diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 5 Februari. Polisi menjerat tersangka Roy Marten dengan lima pasal yakni pasal 71 (bersekongkol), 62 (memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika), dan pasal 60 ayat 2, 3, dan 5 (tentang menyalurkan dan menerima penyaluran serta penyerahan) UU 5/1997 tentang Psikotropika. Sedangkan empat rekan Roy Marten dijerat dengan tiga pasal, yakni pasal 71, 62, dan 60.
Keempat rekan roy martin tersebut yaitu Fredy Matatula dijerat pasal 60 pada ayat 3, kemudian Didit Kesit Cahyadi dengan pasal 60 ayat 2. Untuk Winda digabung dalam satu berkas dengan tersangka Fredy Matatula.
Untuk menangani kasus tersebut Kejari Surabaya sudah menunjuk tujuh jaksa yakni Kasi Datun Muhaji, Kasi Pidum Adi Wibowo, Kasubag BIN M Arifin, Kasubsi Sospol Mulyono, Kasubsi Pra Penuntutan Beny Ermanto, serta Kasi Penuntutan Agus Rujito dan Supramono.
Sementara itu tim Pengacara Roy Marten yang dikomandani Chris Salam, adik bungsu Roy, harus bekerja memutar otak ekstra keras. Karena menurut Chris ada kemungkinan terjadi persekongkolan yang ujung ujungnya akan memberatkan Roy Marten dipersidangan nanti setelah Chris Salam membaca salah satu tabloid terbitan Surabaya yang menyatakan bahwa A Hong diperiksa di rumah makan mewah di Jalan Mayor Sungkono – Surabaya.
Untuk menyelenggarakan pemeriksaan di restoran itu kabarnya memakan biaya 1,3 juta yang dikeluarkan dari kantong pribadi A Hong dan untuk kebenaran informasi tersebut Chris Salam akan mengumpulkan bukti serta berkunjung ke redaksi tabloid yang telah menerbitkan berita tersebut.
Selanjutnya Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus ‘pesta’ sabu-sabu (SS) yang melibatkan bintang film senior, Roy Marten. “Akan segera kita serahkan ke kejaksaan, karena penanganan kasus Roy Marten itu sudah menjelang tahap akhir,” kata Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Anang Iskandar di Surabaya, Jumat (30/11).
Ia mengemukakan hal itu usai menyerahkan penghargaan kepada tim Polresta Surabaya Timur membekuk tersangka pembunuhan Jhoni Efendi (42), warga Klampis Harapan VII/2, AA-86, Sukolilo, Surabaya hingga ke Kalimantan.
Didampingi Kapolresta Surabaya Timur AKBP Drs Imam Sugianto MSi, ia mengatakan Roy Marten terbukti berperan sebagai pengguna SS, orang yang mempertemukan antara kurir dengan bandar SS, dan penjamin transaksi kurir-bandar tanpa uang itu.
“Walau pun Roy Marten sendiri menolak, tapi kami memiliki dua alat bukti yakni hasil uji Labfor dan pengakuan empat tersangka lain bahwa Roy Marten terlibat,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, pihaknya akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus ‘pesta’ SS di sebuah hotel di Jalan Ngagel, Surabaya pada 13 November 2007 itu.
Setelah melewati persidangan akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasu Roy marten. Roy akhirnya dijatuhi vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dari dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) yakni tiga tahun enam bulan (3,5 tahun) dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Roy merasa tak puas dengan keputusan itu, dia juga menolak disamakan dengan pengedar atau bandar.
Sedangkan teman-teman Roy yang ditangkap pada waktu yang sama, masing-masing mendapat hukuman bervariasi antara satu hingga lima tahun penjara.
Namun pada kasus Roy Marten ini tidak terjadi ganti kerugian dan rehabilitasi. Karena pada kasus narkoba tidak ada pihak lain yang dirugikan, melainkan yang akan dirugiakan adalah dirinya sendiri. Namun, ganti kerugian bisa terjadi pada kasus roy Marten diandaikan pada kasusnya merugikan orang lain, ketika dia tertangkap basah oleh tim penyidik di tempat orang yang tidak tahu apa-apa. Dalam itu maka orang yang mempunyai tempat tersebut bisa menuntut ganti kerugian pada Roy Marten serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Ganti rugi yang harus di bayar oleh Roy Marten bisa pada ganti rugi atas pencemaran nama baik, dan atas waktu serta tenaga yang telah dikeluarkan oleh orang yg punya tempat tersebut itu sebagai ganti kerugian immateriil.
Sedangkan untuk Rehabilitasinya Roy Marten tidak di Rehabilitasi pada kasus keduanya, dikarenakan ia telah direhabilitasi pada kasus pertama. Selain itu Roy Marten dianggap tidak bisa belajar dari kesalahan yang sebelumya, karena dia telah melakukan residive pada kasus yang sama. 


























BAB IV
PENUTUP

1.        Kesimpulan

Dari materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa didalam hukum acara pidana, mengatur tentang peraturan-peraturan, yang berkaitan dengan kepentingan umum (hukum publik ). Lalu didalam hukum acara pidana terdapat suatu pembahasan tentang pra peradilan dimana proses ini dilaksanakan sebelum beracaranya dipengadilan, di dalam praperadilan terdapat adanya suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, lalu setelah itu dilakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh polisi yang bertindak sebagai penyelidik, dalam penyelidikan tersebut polisi melakukan penyelidikan langsung di TKP ( tempat kejadian perkara), setelah itu dilakukan penyidikan untuk mencari buki dan berkas lalu di serahkan lah kepada ke jaksa, apakah berkas yang ada sudah lengkap atau belum.

Dari kasus yang kita ambil dalam makalah ini, kita mengambil kasus Roy marten dimana pada tanggal 13 November 2007 Roy tertangkap dengan keempat temannya di Hotel Novotel Surabaya di Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Setelah melewati persidangan akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasus Roy marten. Roy akhirnya dijatuhi vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.





























 hukum acaramakalahhukum-acara

1 comment:

  1. jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini mohon dimaklumi bro.....

    ReplyDelete