BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konsep pemahaman tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar
ketidak mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dan juga ketidak mampuan untuk
memenuhi kebutuhan yang cukup dasar dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya
kesempatan berusaha dan juga kurangnya lapangan pekerjaan, hingga pengertian
yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan
dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh
suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang
dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang
masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum
kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan
kemiskinan konsumsi. Status miskin dalam kehidupan juga relatif . ada
standar tertentu yang dapat mengelompokan seseorang masuk dalam kategori
masyarakat miskin
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep
dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia?
2. Bagaimana
Kriteria Kemiskinan Bank Dunia?
3. Apa Penyebab
Kegagalan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimana
Strategi Penanggulangan Kimiskinan di Indonesia?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memberikan
gambaran keadaan kemiskinan di Indonesia.
2. Dengan
mengetahui tingkat kemiskinan dan apa-apa saja yang menyebabkan kemiskinan kita
akan bisa dengan mudah menentukan arah kebijakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Indikator
Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase
penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara
lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan
ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai
kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan
atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat
miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain
pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar,
dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan
lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi
pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas
sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi
minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan
obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan
pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari
kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau
pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan
dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan
kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam,
lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban
kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya
tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi
bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat
pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan
kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen
penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun
ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak
balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3
juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh
kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan
dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih
didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung
memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh
tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3
persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem
jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya
sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh
kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya
pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,
tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan
kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap
aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi
pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu
rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan
dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan
nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan
dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali
dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang
memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh
terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin
menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah
tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan
mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat
dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa
dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban
10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah
pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada
lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus
penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran
petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam
perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai
kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan
keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan
oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata
anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga
miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata
anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
B. Kriteria Kemiskinan
Bank Dunia
Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan
adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti
kemiskinan. Selain “pujian” bahwa sampai dengan krisis 1997-98
Indonesia mampu mencapai hasil “spektakuler”
dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik
bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan
terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis kemiskinan misalnya,
ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang
sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang bersifat
atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan yang meskipun sulit
diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara
statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini
menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk
miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga
tidak mungkin, karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak,
terlalu menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana
karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan
penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari
komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan
target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut
lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada
dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun
1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar
13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya
angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat
kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana,
apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi
dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan
penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan
mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama kurun waktu 1975–1995 Indonesia telah berhasil dalam
mengurangi kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin
dari 64,3% pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang
sama umur harapan hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7
tahun, angka kematian bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi
51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan
tingkat partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan
pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar
AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari
seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi
miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti
108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per
hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS
per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke
7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup
di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus
menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin
bertambah.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin,
hingga sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang
aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active
poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi
Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar
39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi,
usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau
39 juta usaha (Tambunan, 2002).
1.
Usaha Mikro
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan
sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari
realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro
merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based
development atau development through equity. Disamping
mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha
ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka
telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah
pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan
pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara
mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi
kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat
miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini
memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank
disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa
usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di
bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha
mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap
modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Ø JENIS KESULITAN USAHA MIKRO
- Jenis Kesulitan
1)
Kesulitan
modal
2)
Pengadaan
bahan baku
3)
Pemasaran
4)
Kesulitan
lainnya
Sumber : Data BPS terolah (1999)
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved)
dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga
menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi
saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena
tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya
rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat
asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber
keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa
adanya yang mereka miliki.
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu
pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di
Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan
sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia,
pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan
adanya Microcredit Summit(MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal
2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat
dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari
banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya
menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan
masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama
untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar
600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro
(microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan
berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana
bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan
meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat
secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Ø Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di
Indonesia Menurut Daerah, 1996-2005.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan persentase
penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun ke tahun
meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (Tabel
1). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97
persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase
penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada
bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di
daerah perdesaan.
C. Penyebab Kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain berupa beras untuk
rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk masyarakat miskin.
Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena
sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan
pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan
penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial
ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik
apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah,
seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta
dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan
kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan
itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada
isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Faktor ketiga adalah pemaham pemerintah bahwa pemerintah memberikan
kebutuhan yang menunjang kehidupan sehari –hari bukan memberikan jalan bagaimana
untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Pemerintah sebenarnya
telah memberikan jalan seperti menggelar event seperti Job Fair yang dapat
memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat . namun , persyaratan yang
tinggi juga menjadi ganjaran bagi masyarakat . karena , biasanya
masyarakat yang tergolong masyarakat miskin tidak memiliki jenjang pendidikan
yang tinggi .
D. Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari
satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap
dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi
pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi
beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan
produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan
produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat
terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program,
pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program
penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya
masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang
disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Dan memperbanyak
jumlah koperasi simpan pinjam di daerah yang berperan sebagai saran yang dapat
digunakan masyarakt yang dapat membantu permodalah usaha –usaha
masyarakat . selain itu , koperasi juga dapat berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan sehari – hari masyarakat dengan harga yang
murah dan juga dapat menjadi tempat investasi bagi masyarakat yang mau
menanamkan modal di koperasi tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah kemiskinan di Indonesia sudah sangat berat ini karena kurangnya
kerjasama antara pemerintah , masyarakat dan juga pihak terkait yang seharusnya
bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di indonesia. Namun , bukan berati
masalah kemiskinan di Indonesia tidak bisa di selesaikan . butuh kesadaran dan
kemauan dari masayarakat untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka . bagi
pemerintah butuh keseriusan dan ketulusan hati mereka untuk membantu rakyat
miskin yang sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka . karena , pemerintah
cenderung tidak serius dalam membuat dan menjaga program yang mereka buat untuk
mensejahterakan masyarakat dan ketulusan hati mereka untuk membantu mereka yang
membutuhkan bantuan. Dan bagi pihak terkait untuk menyelesaikan masalah
tersebut . tidak seharusnya mereka memanfaatkan keadaan dan amanah yang telah
diberikan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri . karena mereka juga ada
karena harus membantu bukan memperkaya diri dari sesuatu yang bukan seharusnya
bukan menjadi miliknya.
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh
bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil
maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa
Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan
kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah karena
usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia
melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia.
Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan
kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan
berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan
swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM,
akademisi, lembaga-lembaga donor, dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa
lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu
memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di
saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik
yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat
dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang
harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu
aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri
sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk
sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
B. Saran
Secara pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga
dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah informasi dan juga memberikan
manfaat bagi pembacanya . dan dengan dibuatnya makalah ini dapat membuat
pembacanya melihat di sekitar mereka dan membantu saudara atau masayarakat di
sekitar mereka jika ada yang memiliki masalah ekonomi dan membutuhkan bantuan
DAFTAR PUSTAKA
http://lurahkayangan.blogspot.com/2012/06/makalah-perekonomian-indonesia.html
http://nirwanjackmania.blogspot.com/2012/06/makalah-kemiskinan-di-indonesia.html
http://khoiruliman.wordpress.com/2012/10/18/perbedaan-masalah-masalah-yang-ada-di-pedesaan-dan-perkotaan/
No comments:
Post a Comment