makalah

Saturday, September 21, 2013

makalah hukum acara

BAB I
PENDAHULUAN

A.            LATAR BELAKANG

          Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Dalam makalah ini kelompok kami mengambil kasus ganti rugi yang di alami oleh aktor Roy Martin dimana dia tertangkap kedua kalinya untuk kasus narkoba di kota pahlawan Surabaya, apalagi sebelum tertangkap Roy Marten menjadi tamu bagi Jawa Pos dan Badan Narkotika Nasional (BNN) memberi testimoni anti-narkotika dan diantara pelaku yang ditangkap bersama Roy Marten juga terdapat residivis narkoba Lainnya. Dan juga tak luput Artis rock Ahmad Albar juga ditangkap tim reserse Mabes Polri karena diduga terlibat kasus penemuan 490 ribu butir ekstasi di apartemen Taman Anggrek, Jakarta Barat.Hal ini seharusnya pelajaran bagi bangsa ini bahwa peredaran Narkoba sangat kuat di masyarakat, efek jera dari hukuman pidana bagi pengguna dan pengedar tidak akan pernah mampu memutus rantai peredaran narkoba. Bahkan seorang yang dianggap sebagai aktivis anti-narkoba pun seringkali tertangkap basah oleh aparat sedang menggunakan narkoba dan tidak tertinggal pejabat di lingkungan PNS juga sama saja. Pada intinya siapapun orangnya dapat terlibat dalam penyalahgunaan Narkoba ini, mulai anak sekolah sampai para pejabat bisa saja menyalahgunakan barang haram ini.Sekarang yang menjadi pertanyaannya, apakah bangsa ini serius memberantas narkoba? Sementara Kita tahu bahwa aparat berwenang sudah berusaha dari menangkap produsen, pengedar maupun pemakai dan mereka juga sudah diberikan hukuman sesuai dengan hukum berlaku di Bangsa ini. Namun masih saja kasus narkoba ini makin menjadi-jadi bahkan yang menjadi incaran para bandar narkoba sekarang ini bukan saja para kalangan artis dan entertainment bahkan para remaja dan anak di bawah umur pun menjadi sasarannya. Terkait masalah tersebut dalam makalah ini dibahas mengenai kasus narkoba Roy marten.

B.     TUJUAN MASALAH

          Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Sistem Hukum Indonesia. Selain itu bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana acara dalam pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi dengan menganalisis kasus. Kasus yang dianalisis dalam makalah ini yaitu tentang kasus narkoba yang menimpa artis senior Roy Marten.

C.     RUMUSAN MASALAH
1.        Apa pengertian dari pra perdailan, ganti kerugian dan Rehabilitasi?
2.        Bagaimana proses dalam acara pra perdailan?
3.        Menjelaskan wewenang pra peradilan?
4.        Mennganilis kasus yang bersangkutan dengan pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi.









BAB II
PEMBAHASAN

1.        PENGERTIAN PRA PERADILAN
                                             
Arti pra peradilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan Negeri untuk memberikan dan memutus cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
·           Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
·           Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
·           Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan bertujuan untuk kepentingan penggunaan terhadap perlindungan hal-hak tersangka atau terdakwa agar para penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum tidak berbuat sewenang-wenang ditingkat pemeriksaan karena pada dasarnya tersangka atau terdakwa belum dianggap bersalah(praduga tidak bersalah), Praperadilan bukan badan tersendiri akan tetapi merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri.Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah  memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan), serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata – mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang karena kekeliruan orang atau hukum.

2.        WEWENANG PRA PERADILAN

Wewenang pra peradilan secara sepintas telah dikemukakan dalam pasal  1 angka  10 KUHAP. Kewenangan tersebut lebih di tegaskan lagi dalam pasal 77 jo pasal 82, pasal 95 dan pasal 97 KUHAP. Pra peradilan sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal tersebut di atas berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang :
1.        Sah atau tidaknya penangkapan , penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh jaksa  Agung) sebagaimana ditentukan pasal 77 KUHAP.
2.        Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian  (pasal 82 ayat 1 dan 3 KUHAP.
3.        Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau penangkapan atau penahanan , karena dituntut dan diadili serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak di ajukan ke pengadilan negeri (pasal 95 ayat 2 KUHAP jo pasal 77 huruf b KUHAP.
4.        Permintaan rehabilitas oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan negeri (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 huruf b KUHAP).
3.        ACARA PEMERIKSAAN PRA PERADILAN.

Acara pra peradilan di atur dalam pasal 82 dan 83 KUHAP  sebagai berikut :
1.        Setelah permintaan pemeriksaan pra peradilan oleh mereka yang tersebut dalam pasal 79, 80, 81, 95 ayat (2) dan 97 ayat (3) KUHAP di jatuhkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan di catat dalam Register Perkara Praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri . maka pada hari itu juga pejabat yang di tunjuk untuk menyampaikan permintaan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri  atau wakil ketua , harus segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara ( pasal 77 ayat (2) KUHAP ).
2.        Setelah hakim tunggal dan paniteranya  di tunjuk. Dalam waktu 3 hari hakim pra peradilan tersebut harus segera menetapkan hari sidingnya dengan memanggil pula tersangka atau pemohon maupun pejabat yang berwenang untuk di dengar di persidangan antaralain pihak termohon. ( pasal 82 ayat (1) huruf a dan b KUHAP).
Pemeriksaan dilakukan  di secepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah memutuskan perkaranya. ( pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP).
Berita acara dan putusan pra peradilan dibuat seperti untuk acara pemeriksaan singkat.
1.        Dalam hal suatu pemeriksaan pra peradilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya  sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, maka permintaan pemeriksaan pra peradilan harus dinyatakan gugur ( pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP)
2.        Putusan pra peradilan pada tingkat penyelidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan pra peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP)
3.        Putusan hakim pra peradilan, selain harus memuat dengan jelas dasar dan alasan untuk  “mengabulkan “ atau “menolak” permintaan pemeriksaan itu (pasal 82 ayat (2) KUHAP), maka dalam amar  putusannya juga hrus di cantumkan pula ketentuan-ketentuan tersebut, yang tercantum dalam pasal 82 ayat (3) KUHAP yaitu:
a)    Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau penyelidik atau jaksa penuntut umum sesuai dengan tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b)   Dalam hal putusan memetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyelidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c)    Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
d)   Dalm hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
4.        Terhadap putusan pra peradilan tidak dapat diminta banding (pasal 83 ayat (1) KUHAP).
Khusus terhadap putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka atas permintaan pihak-pihak ( antara lain penyidik atau penuntut umum) berhak mengajukan permintaan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yangbersangkutan. ( pasal 83 ayat (2) KUHAP). Putusan pengadilan tinggi harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.


4.     PENGERTIAN GANTI KERUGIAN

          Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
          Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).
          Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.

5.        ACARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN

          Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
          Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
          Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).
          Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
          Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
          Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
          Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.
          Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan kerugian.
          Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.
          Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.
          Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut.
          Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.
          Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.

6.        PASAL – PASAL YANG MENGATUR TENTANG HAK UNTUK MEMPEROLEH GANTI RUGI

          Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Ø  Pasal 95
(1)    Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,  dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2)    Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3)    Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
 (4)    Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5)    Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Ø  Pasal 96
 (1)    Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
 (2)    Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

7.        REHABILITASI
  1. Pengertian Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
2.      Alasan Rehabilitasi
Baik sebagai alasan tuntutan ganti kerugian maupun alasan tuntutan rehabilitasi, yang dimaksud oleh KUHAP bersifat limitatif, artinya terbatas atas hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan KUHAP saja.
          Untuk alasan-alasan rehabilitasi disebutkan oleh pasal 97 sebagai berikut :
  1. Putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  2. Ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang ditetapkan, akan tetapi perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
Salah satu alasan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ialah tindakan melawan hukum harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. Tidak bertentangan dengan suatu peraturan hukum ;
  2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan lakukan tindakan kejahatan ;
  3. Tindakan itu harus patut dan masuk dalam lingkungan jabatannya ;
  4. Dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa ;
  5. Menghormati hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat 1 angka 4) :
  6. Tuntutan Rehabilitasi
          Tuntutan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat 3 KUHAP, diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon (tersangka, keluarga atau kuasanya, pasal 12 PP No. 27 tahun 1983).










































BAB III
ANALISIS KASUS

Dalam pembahasan kali ini yang menyangkut materi pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi kami mengambil satu kasus yang berkaitan dengan materi tersebut yaitu kasus yang terjadi pada artis senior di Indonesia yaitu Roy Martin.
Pada tanggal 13 November 2007 Roy tertangkap dengan keempat temannya di Hotel Novotel Surabaya di Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Pada saat penangkapan, polisi menemukan barang bukti, 1 gram dan 1 ons shabu-shabu di kamar 364 Hotel Novotel. Di kamar berbeda yaitu kamar 465, polisi juga mendapati seperangkat alat hisap (bong) dan sisa di aluminium foil SS 0,5 ons. Ironis sebenarnya, karena Roy ternyata ditangkap usai memberikan testimoni di acara yang digelar Badan Narkotika Nasional (BNN). Roy Marten datang ke Surabaya untuk memberi testimoni di acara penandatangan MoU Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan sebuah harian di Ruang Semanggi lantai V Graha Pena Jalan Ahmad yani 88 Surabaya, Sabtu (10/11/2007) lalu. MoU tersebut dibuat dalam rangka pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika (P4GN). Acara yang dihadiri oleh Kapolri, Jenderal Sutanto dan beberapa pengusaha serta kaum profesional yang peduli narkoba tersebut untuk mendukung setiap kegiatan yang dilakukan P4GN.
Roy Marten akan mulai diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 5 Februari. Polisi menjerat tersangka Roy Marten dengan lima pasal yakni pasal 71 (bersekongkol), 62 (memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika), dan pasal 60 ayat 2, 3, dan 5 (tentang menyalurkan dan menerima penyaluran serta penyerahan) UU 5/1997 tentang Psikotropika. Sedangkan empat rekan Roy Marten dijerat dengan tiga pasal, yakni pasal 71, 62, dan 60.
Keempat rekan roy martin tersebut yaitu Fredy Matatula dijerat pasal 60 pada ayat 3, kemudian Didit Kesit Cahyadi dengan pasal 60 ayat 2. Untuk Winda digabung dalam satu berkas dengan tersangka Fredy Matatula.
Untuk menangani kasus tersebut Kejari Surabaya sudah menunjuk tujuh jaksa yakni Kasi Datun Muhaji, Kasi Pidum Adi Wibowo, Kasubag BIN M Arifin, Kasubsi Sospol Mulyono, Kasubsi Pra Penuntutan Beny Ermanto, serta Kasi Penuntutan Agus Rujito dan Supramono.
Sementara itu tim Pengacara Roy Marten yang dikomandani Chris Salam, adik bungsu Roy, harus bekerja memutar otak ekstra keras. Karena menurut Chris ada kemungkinan terjadi persekongkolan yang ujung ujungnya akan memberatkan Roy Marten dipersidangan nanti setelah Chris Salam membaca salah satu tabloid terbitan Surabaya yang menyatakan bahwa A Hong diperiksa di rumah makan mewah di Jalan Mayor Sungkono – Surabaya.
Untuk menyelenggarakan pemeriksaan di restoran itu kabarnya memakan biaya 1,3 juta yang dikeluarkan dari kantong pribadi A Hong dan untuk kebenaran informasi tersebut Chris Salam akan mengumpulkan bukti serta berkunjung ke redaksi tabloid yang telah menerbitkan berita tersebut.
Selanjutnya Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus ‘pesta’ sabu-sabu (SS) yang melibatkan bintang film senior, Roy Marten. “Akan segera kita serahkan ke kejaksaan, karena penanganan kasus Roy Marten itu sudah menjelang tahap akhir,” kata Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Anang Iskandar di Surabaya, Jumat (30/11).
Ia mengemukakan hal itu usai menyerahkan penghargaan kepada tim Polresta Surabaya Timur membekuk tersangka pembunuhan Jhoni Efendi (42), warga Klampis Harapan VII/2, AA-86, Sukolilo, Surabaya hingga ke Kalimantan.
Didampingi Kapolresta Surabaya Timur AKBP Drs Imam Sugianto MSi, ia mengatakan Roy Marten terbukti berperan sebagai pengguna SS, orang yang mempertemukan antara kurir dengan bandar SS, dan penjamin transaksi kurir-bandar tanpa uang itu.
“Walau pun Roy Marten sendiri menolak, tapi kami memiliki dua alat bukti yakni hasil uji Labfor dan pengakuan empat tersangka lain bahwa Roy Marten terlibat,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, pihaknya akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus ‘pesta’ SS di sebuah hotel di Jalan Ngagel, Surabaya pada 13 November 2007 itu.
Setelah melewati persidangan akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasu Roy marten. Roy akhirnya dijatuhi vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dari dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) yakni tiga tahun enam bulan (3,5 tahun) dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Roy merasa tak puas dengan keputusan itu, dia juga menolak disamakan dengan pengedar atau bandar.
Sedangkan teman-teman Roy yang ditangkap pada waktu yang sama, masing-masing mendapat hukuman bervariasi antara satu hingga lima tahun penjara.
Namun pada kasus Roy Marten ini tidak terjadi ganti kerugian dan rehabilitasi. Karena pada kasus narkoba tidak ada pihak lain yang dirugikan, melainkan yang akan dirugiakan adalah dirinya sendiri. Namun, ganti kerugian bisa terjadi pada kasus roy Marten diandaikan pada kasusnya merugikan orang lain, ketika dia tertangkap basah oleh tim penyidik di tempat orang yang tidak tahu apa-apa. Dalam itu maka orang yang mempunyai tempat tersebut bisa menuntut ganti kerugian pada Roy Marten serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Ganti rugi yang harus di bayar oleh Roy Marten bisa pada ganti rugi atas pencemaran nama baik, dan atas waktu serta tenaga yang telah dikeluarkan oleh orang yg punya tempat tersebut itu sebagai ganti kerugian immateriil.
Sedangkan untuk Rehabilitasinya Roy Marten tidak di Rehabilitasi pada kasus keduanya, dikarenakan ia telah direhabilitasi pada kasus pertama. Selain itu Roy Marten dianggap tidak bisa belajar dari kesalahan yang sebelumya, karena dia telah melakukan residive pada kasus yang sama. 


























BAB IV
PENUTUP

1.        Kesimpulan

Dari materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa didalam hukum acara pidana, mengatur tentang peraturan-peraturan, yang berkaitan dengan kepentingan umum (hukum publik ). Lalu didalam hukum acara pidana terdapat suatu pembahasan tentang pra peradilan dimana proses ini dilaksanakan sebelum beracaranya dipengadilan, di dalam praperadilan terdapat adanya suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, lalu setelah itu dilakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh polisi yang bertindak sebagai penyelidik, dalam penyelidikan tersebut polisi melakukan penyelidikan langsung di TKP ( tempat kejadian perkara), setelah itu dilakukan penyidikan untuk mencari buki dan berkas lalu di serahkan lah kepada ke jaksa, apakah berkas yang ada sudah lengkap atau belum.

Dari kasus yang kita ambil dalam makalah ini, kita mengambil kasus Roy marten dimana pada tanggal 13 November 2007 Roy tertangkap dengan keempat temannya di Hotel Novotel Surabaya di Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Setelah melewati persidangan akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasus Roy marten. Roy akhirnya dijatuhi vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.





























 hukum acaramakalahhukum-acara

kebikajakan pemerintah tentah meningkatnya kemiskinan

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang

Konsep pemahaman tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidak mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dan juga ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan yang cukup dasar dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya kesempatan berusaha dan juga kurangnya lapangan pekerjaan, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Status miskin dalam kehidupan juga relatif . ada  standar tertentu yang dapat mengelompokan seseorang masuk dalam kategori masyarakat miskin

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia?

2.      Bagaimana Kriteria Kemiskinan Bank Dunia?

3.      Apa Penyebab Kegagalan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?

4.      Bagaimana Strategi Penanggulangan Kimiskinan di Indonesia?

C.     Tujuan Pembahasan

1.      Memberikan gambaran keadaan kemiskinan di Indonesia.


2.      Dengan mengetahui tingkat kemiskinan dan apa-apa saja yang menyebabkan kemiskinan kita akan bisa dengan mudah menentukan arah kebijakan.








BAB II
PEMBAHASAN


A.     Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia

Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.

B.     Kriteria Kemiskinan Bank Dunia

Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain pujian bahwa sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil spektakuler dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis kemiskinan misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga tidak mungkin, karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun 1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama kurun waktu 19751995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur harapan hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka kematian bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin bertambah.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin, hingga sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).

1.        Usaha Mikro

Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.

Ø  JENIS KESULITAN USAHA MIKRO

  • Jenis Kesulitan

1)      Kesulitan modal
2)      Pengadaan bahan baku
3)      Pemasaran
4)      Kesulitan lainnya
Sumber : Data BPS terolah (1999)

Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka miliki.
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit(MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih besar. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Ø  Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 1996-2005.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (Tabel 1). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.

C.     Penyebab Kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk masyarakat miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Faktor ketiga adalah pemaham pemerintah bahwa pemerintah memberikan kebutuhan  yang menunjang kehidupan sehari hari bukan memberikan jalan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari hari mereka. Pemerintah sebenarnya telah memberikan jalan seperti menggelar event seperti Job Fair yang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat . namun , persyaratan yang tinggi  juga menjadi ganjaran bagi masyarakat . karena , biasanya masyarakat yang tergolong masyarakat miskin tidak memiliki jenjang pendidikan yang tinggi .

D.     Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Dan memperbanyak jumlah koperasi simpan pinjam di daerah yang berperan sebagai saran yang dapat digunakan masyarakt yang dapat membantu permodalah usaha usaha masyarakat . selain itu , koperasi juga dapat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari hari masyarakat dengan harga yang murah dan juga dapat menjadi tempat investasi bagi masyarakat yang mau menanamkan modal di koperasi tersebut.





BAB III
PENUTUP



A.      Kesimpulan
Masalah kemiskinan di Indonesia sudah sangat berat ini karena kurangnya kerjasama antara pemerintah , masyarakat dan juga pihak terkait yang seharusnya bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di indonesia. Namun , bukan berati masalah kemiskinan di Indonesia tidak bisa di selesaikan . butuh kesadaran dan kemauan dari masayarakat untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka . bagi pemerintah butuh keseriusan dan ketulusan hati mereka untuk membantu rakyat miskin yang sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka . karena , pemerintah cenderung tidak serius dalam membuat dan menjaga program yang mereka buat untuk mensejahterakan masyarakat dan ketulusan hati mereka untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Dan bagi pihak terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut . tidak seharusnya mereka memanfaatkan keadaan dan amanah yang telah diberikan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri . karena mereka juga ada karena harus membantu bukan memperkaya diri dari sesuatu yang bukan seharusnya bukan menjadi miliknya.
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor, dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.

B.     Saran

Secara pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah informasi dan juga memberikan manfaat bagi pembacanya . dan dengan dibuatnya makalah ini dapat membuat pembacanya melihat di sekitar mereka dan membantu saudara atau masayarakat di sekitar mereka jika ada yang memiliki masalah ekonomi dan membutuhkan bantuan




































DAFTAR PUSTAKA



http://lurahkayangan.blogspot.com/2012/06/makalah-perekonomian-indonesia.html

http://nirwanjackmania.blogspot.com/2012/06/makalah-kemiskinan-di-indonesia.html
http://khoiruliman.wordpress.com/2012/10/18/perbedaan-masalah-masalah-yang-ada-di-pedesaan-dan-perkotaan/