BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Dalam
makalah ini kelompok kami mengambil kasus ganti rugi yang di alami oleh aktor
Roy Martin dimana dia tertangkap kedua kalinya untuk kasus narkoba di kota
pahlawan Surabaya, apalagi sebelum tertangkap Roy Marten menjadi tamu bagi Jawa
Pos dan Badan Narkotika Nasional (BNN) memberi testimoni anti-narkotika dan
diantara pelaku yang ditangkap bersama Roy Marten juga terdapat residivis
narkoba Lainnya. Dan juga tak luput Artis rock Ahmad Albar juga ditangkap tim
reserse Mabes Polri karena diduga terlibat kasus penemuan 490 ribu butir
ekstasi di apartemen Taman Anggrek, Jakarta Barat.Hal ini seharusnya pelajaran
bagi bangsa ini bahwa peredaran Narkoba sangat kuat di masyarakat, efek jera
dari hukuman pidana bagi pengguna dan pengedar tidak akan pernah mampu memutus
rantai peredaran narkoba. Bahkan seorang yang dianggap sebagai aktivis
anti-narkoba pun seringkali tertangkap basah oleh aparat sedang menggunakan
narkoba dan tidak tertinggal pejabat di lingkungan PNS juga sama saja. Pada
intinya siapapun orangnya dapat terlibat dalam penyalahgunaan Narkoba ini,
mulai anak sekolah sampai para pejabat bisa saja menyalahgunakan barang haram
ini.Sekarang yang menjadi pertanyaannya, apakah bangsa ini serius memberantas
narkoba? Sementara Kita tahu bahwa aparat berwenang sudah berusaha dari
menangkap produsen, pengedar maupun pemakai dan mereka juga sudah diberikan
hukuman sesuai dengan hukum berlaku di Bangsa ini. Namun masih saja kasus
narkoba ini makin menjadi-jadi bahkan yang menjadi incaran para bandar narkoba
sekarang ini bukan saja para kalangan artis dan entertainment bahkan para
remaja dan anak di bawah umur pun menjadi sasarannya. Terkait masalah tersebut
dalam makalah ini dibahas mengenai kasus narkoba Roy marten.
B. TUJUAN MASALAH
Makalah
ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Sistem Hukum
Indonesia. Selain itu bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana acara dalam pra
peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi dengan menganalisis kasus. Kasus
yang dianalisis dalam makalah ini yaitu tentang kasus narkoba yang menimpa
artis senior Roy Marten.
C. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian dari pra perdailan, ganti kerugian dan Rehabilitasi?
2.
Bagaimana
proses dalam acara pra perdailan?
3.
Menjelaskan
wewenang pra peradilan?
4.
Mennganilis
kasus yang bersangkutan dengan pra peradilan, ganti kerugian dan rehabilitasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN PRA PERADILAN
Arti pra
peradilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra
Peradilan adalah wewenang pengadilan Negeri untuk memberikan dan memutus cara
yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
·
Sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
·
Sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;
·
Permintaan
ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan
bertujuan untuk kepentingan penggunaan terhadap perlindungan hal-hak tersangka
atau terdakwa agar para penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum
tidak berbuat sewenang-wenang ditingkat pemeriksaan karena pada dasarnya
tersangka atau terdakwa belum dianggap bersalah(praduga tidak bersalah),
Praperadilan bukan badan tersendiri akan tetapi merupakan wewenang dari Pengadilan
Negeri.Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai
pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan
dan penahanan), serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
Akan tetapi
dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan
kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti
kerugian dalam hal ini bukan hanya semata – mata mengenai akibat kesalahan
upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian
akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah
secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan
Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula
dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti,
atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang – undang karena kekeliruan orang atau hukum.
2.
WEWENANG PRA PERADILAN
Wewenang pra
peradilan secara sepintas telah dikemukakan dalam pasal 1 angka 10
KUHAP. Kewenangan tersebut lebih di tegaskan lagi dalam pasal 77 jo pasal 82,
pasal 95 dan pasal 97 KUHAP. Pra peradilan sebagaimana ditentukan dalam
pasal-pasal tersebut di atas berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang :
1.
Sah atau
tidaknya penangkapan , penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian
penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh
jaksa Agung) sebagaimana ditentukan pasal 77 KUHAP.
2.
Sah atau
tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (pasal 82 ayat 1 dan 3
KUHAP.
3.
Tuntutan
ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau penangkapan atau
penahanan , karena dituntut dan diadili serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak di ajukan ke pengadilan negeri (pasal 95 ayat
2 KUHAP jo pasal 77 huruf b KUHAP.
4.
Permintaan
rehabilitas oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan yang perkaranya tidak diajukan negeri (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77
huruf b KUHAP).
3.
ACARA PEMERIKSAAN PRA PERADILAN.
Acara pra
peradilan di atur dalam pasal 82 dan 83 KUHAP sebagai berikut :
1.
Setelah
permintaan pemeriksaan pra peradilan oleh mereka yang tersebut dalam pasal 79,
80, 81, 95 ayat (2) dan 97 ayat (3) KUHAP di jatuhkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, dan di catat dalam Register Perkara Praperadilan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri . maka pada hari itu juga pejabat yang di tunjuk
untuk menyampaikan permintaan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri atau
wakil ketua , harus segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan
memeriksa perkara ( pasal 77 ayat (2) KUHAP ).
2.
Setelah
hakim tunggal dan paniteranya di tunjuk. Dalam waktu 3 hari hakim pra
peradilan tersebut harus segera menetapkan hari sidingnya dengan memanggil pula
tersangka atau pemohon maupun pejabat yang berwenang untuk di dengar di
persidangan antaralain pihak termohon. ( pasal 82 ayat (1) huruf a dan b
KUHAP).
Pemeriksaan
dilakukan di secepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah
memutuskan perkaranya. ( pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP).
Berita acara dan putusan pra peradilan dibuat seperti
untuk acara pemeriksaan singkat.
1.
Dalam hal
suatu pemeriksaan pra peradilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya
sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, maka permintaan pemeriksaan
pra peradilan harus dinyatakan gugur ( pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP)
2.
Putusan pra
peradilan pada tingkat penyelidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan pra peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum,
jika untuk itu diajukan permintaan baru (pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP)
3.
Putusan
hakim pra peradilan, selain harus memuat dengan jelas dasar dan alasan
untuk “mengabulkan “ atau “menolak” permintaan pemeriksaan itu (pasal 82
ayat (2) KUHAP), maka dalam amar putusannya juga hrus di
cantumkan pula ketentuan-ketentuan tersebut, yang tercantum dalam pasal 82 ayat
(3) KUHAP yaitu:
a) Dalam hal
putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka
penyidik atau penyelidik atau jaksa penuntut umum sesuai dengan tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b) Dalam hal putusan
memetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyelidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c) Dalam hal
putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka
dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
d) Dalm hal putusan
menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian,
maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan
kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
4.
Terhadap
putusan pra peradilan tidak dapat diminta banding (pasal 83 ayat (1) KUHAP).
Khusus terhadap putusan pra peradilan yang menetapkan
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka atas permintaan
pihak-pihak ( antara lain penyidik atau penuntut umum) berhak mengajukan
permintaan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum
yangbersangkutan. ( pasal 83 ayat (2) KUHAP). Putusan pengadilan tinggi harus
segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera
Pengadilan Negeri.
4. PENGERTIAN GANTI KERUGIAN
Ganti
kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian
lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata.
Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang
lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian
dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke
dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat
terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya
(tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang,
kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita
dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil
atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang
pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh
Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu
meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut
(kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia
pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan
menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).
Sedangkan
ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
5.
ACARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN
Dalam
ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum
itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun
penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan
gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah
diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka
dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah
dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam
jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
(diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3
bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang
tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan,
penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar
penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang
tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas
dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
Saat
yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau
sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan
(sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa
menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP
menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu
minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat
penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).
Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya
mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan
secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika
terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam
jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah
ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan
ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang
pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah
ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Setelah
penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah
sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara
tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q.
sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri
keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada
surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si
terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor
perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya
terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah
pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan
sampai 1 tahun.
Ganti
kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain
adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui
praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan
permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal
1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu
maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui
praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara
prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN
yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.
Dasar
hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1)
KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian
karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas
perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang
mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan
atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran
terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan
terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian,
kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan.
Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut
mendapatkan kerugian.
Korban
dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana.
Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut.
Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata,
namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian
digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya
terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke
rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti
kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena
dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara
perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana
dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari
siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang
bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti
kerugian dimintakan.
Penggabungan
perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang
diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada
mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini
memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana
ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.
Ganti
kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses
pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum
mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya
sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan
permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang
terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan,
pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana
ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban
dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim
memutus perkara tersebut.
Dalam
hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian
dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana
dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan
Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun
tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti
kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN
memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana
tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang
bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan.
Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim
dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang
tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah
jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana
dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya
eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.
Jika
korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh
korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan
hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan
sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang
dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat
mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya,
korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim
memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah
untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah
nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah
mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara
perdata.
6.
PASAL – PASAL YANG MENGATUR TENTANG HAK UNTUK MEMPEROLEH GANTI RUGI
Pasal 1 angka 22 UU No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP. “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Ø Pasal 95
(1) Tersangka,
terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti
kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan
serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.
(4) Untuk
memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan
terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.
Ø Pasal 96
(1) Putusan
pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2)
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
7.
REHABILITASI
- Pengertian
Rehabilitasi
Ketentuan
tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu pasal 97.
Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang
rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang
untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
2. Alasan Rehabilitasi
Baik sebagai
alasan tuntutan ganti kerugian maupun alasan tuntutan rehabilitasi, yang
dimaksud oleh KUHAP bersifat limitatif, artinya terbatas atas hal-hal yang
disebutkan dalam ketentuan KUHAP saja.
Untuk alasan-alasan rehabilitasi disebutkan oleh pasal 97 sebagai berikut :
- Putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
- Ditangkap
atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang ditetapkan, akan tetapi perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan Negeri
Salah satu alasan tuntutan ganti
kerugian atau rehabilitasi ialah tindakan melawan hukum harus dipenuhi
persyaratan sebagai berikut :
- Tidak
bertentangan dengan suatu peraturan hukum ;
- Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan lakukan tindakan kejahatan ;
- Tindakan
itu harus patut dan masuk dalam lingkungan jabatannya ;
- Dilakukan
atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa ;
- Menghormati
hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat 1 angka 4) :
- Tuntutan
Rehabilitasi
Tuntutan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
97 ayat 3 KUHAP, diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah
putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan
kepada pemohon (tersangka, keluarga atau kuasanya, pasal 12 PP No. 27 tahun
1983).
BAB III
ANALISIS
KASUS
Dalam
pembahasan kali ini yang menyangkut materi pra peradilan, ganti kerugian dan
rehabilitasi kami mengambil satu kasus yang berkaitan dengan materi tersebut
yaitu kasus yang terjadi pada artis senior di Indonesia yaitu Roy Martin.
Pada tanggal 13 November 2007 Roy
tertangkap dengan keempat temannya di Hotel Novotel Surabaya di
Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Pada saat
penangkapan, polisi menemukan barang bukti, 1 gram dan 1 ons shabu-shabu di
kamar 364 Hotel Novotel. Di kamar berbeda yaitu kamar 465, polisi juga
mendapati seperangkat alat hisap (bong) dan sisa di aluminium foil SS 0,5 ons.
Ironis sebenarnya, karena Roy ternyata ditangkap usai memberikan testimoni di
acara yang digelar Badan Narkotika Nasional (BNN). Roy Marten datang ke
Surabaya untuk memberi testimoni di acara penandatangan MoU Badan Narkotika
Nasional (BNN) dengan sebuah harian di Ruang Semanggi lantai V Graha Pena Jalan
Ahmad yani 88 Surabaya, Sabtu (10/11/2007) lalu. MoU tersebut dibuat dalam
rangka pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
(P4GN). Acara yang dihadiri oleh Kapolri, Jenderal Sutanto dan beberapa
pengusaha serta kaum profesional yang peduli narkoba tersebut untuk mendukung
setiap kegiatan yang dilakukan P4GN.
Roy Marten akan
mulai diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 5 Februari. Polisi
menjerat tersangka Roy Marten dengan
lima pasal yakni pasal 71 (bersekongkol), 62 (memiliki, menyimpan, dan atau
membawa psikotropika), dan pasal 60 ayat 2, 3, dan 5 (tentang menyalurkan dan
menerima penyaluran serta penyerahan) UU 5/1997 tentang Psikotropika. Sedangkan
empat rekan Roy Marten dijerat
dengan tiga pasal, yakni pasal 71, 62, dan 60.
Keempat rekan roy martin tersebut
yaitu Fredy Matatula dijerat pasal 60 pada ayat 3, kemudian Didit Kesit Cahyadi
dengan pasal 60 ayat 2. Untuk Winda digabung dalam satu berkas dengan tersangka
Fredy Matatula.
Untuk
menangani kasus tersebut Kejari Surabaya sudah menunjuk tujuh jaksa yakni Kasi
Datun Muhaji, Kasi Pidum Adi Wibowo, Kasubag BIN M Arifin, Kasubsi Sospol
Mulyono, Kasubsi Pra Penuntutan Beny Ermanto, serta Kasi Penuntutan Agus Rujito
dan Supramono.
Sementara itu tim Pengacara Roy Marten yang
dikomandani Chris Salam, adik bungsu Roy, harus
bekerja memutar otak ekstra keras. Karena menurut Chris ada kemungkinan terjadi
persekongkolan yang ujung ujungnya akan memberatkan Roy Marten dipersidangan
nanti setelah Chris Salam membaca salah satu tabloid terbitan Surabaya yang
menyatakan bahwa A Hong diperiksa di rumah makan mewah di Jalan Mayor Sungkono
– Surabaya.
Untuk
menyelenggarakan pemeriksaan di restoran itu kabarnya memakan biaya 1,3 juta
yang dikeluarkan dari kantong pribadi A Hong dan untuk kebenaran informasi
tersebut Chris Salam akan mengumpulkan bukti serta berkunjung ke redaksi
tabloid yang telah menerbitkan berita tersebut.
Selanjutnya
Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya akan segera melimpahkan
berkas dan tersangka kasus ‘pesta’ sabu-sabu (SS) yang melibatkan bintang film
senior, Roy Marten. “Akan segera kita serahkan ke kejaksaan, karena
penanganan kasus Roy Marten itu sudah menjelang tahap akhir,” kata
Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Anang Iskandar di Surabaya, Jumat (30/11).
Ia
mengemukakan hal itu usai menyerahkan penghargaan kepada tim Polresta Surabaya
Timur membekuk tersangka pembunuhan Jhoni Efendi (42), warga Klampis Harapan
VII/2, AA-86, Sukolilo, Surabaya hingga ke Kalimantan.
Didampingi Kapolresta Surabaya Timur
AKBP Drs Imam Sugianto MSi, ia mengatakan Roy Marten terbukti berperan sebagai pengguna SS, orang
yang mempertemukan antara kurir dengan bandar SS, dan penjamin transaksi
kurir-bandar tanpa uang itu.
“Walau pun Roy Marten sendiri menolak, tapi kami memiliki dua alat
bukti yakni hasil uji Labfor dan pengakuan empat tersangka lain bahwa Roy Marten terlibat,” katanya.
Oleh karena
itu, katanya, pihaknya akan segera melimpahkan berkas dan tersangka kasus
‘pesta’ SS di sebuah hotel di Jalan Ngagel, Surabaya pada 13 November 2007 itu.
Setelah melewati persidangan
akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasu Roy marten. Roy akhirnya dijatuhi
vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan
kurungan. Vonis tersebut lebih ringan dari dari tuntutan JPU (Jaksa Penuntut
Umum) yakni tiga tahun enam bulan (3,5 tahun) dan denda Rp10 juta subsider tiga
bulan kurungan. Roy merasa tak puas dengan keputusan itu, dia juga menolak
disamakan dengan pengedar atau bandar.
Sedangkan teman-teman Roy yang
ditangkap pada waktu yang sama, masing-masing mendapat hukuman bervariasi
antara satu hingga lima tahun penjara.
Namun pada
kasus Roy Marten ini tidak terjadi ganti kerugian dan rehabilitasi. Karena pada
kasus narkoba tidak ada pihak lain yang dirugikan, melainkan yang akan
dirugiakan adalah dirinya sendiri. Namun, ganti kerugian bisa terjadi pada
kasus roy Marten diandaikan pada kasusnya merugikan orang lain, ketika dia
tertangkap basah oleh tim penyidik di tempat orang yang tidak tahu apa-apa.
Dalam itu maka orang yang mempunyai tempat tersebut bisa menuntut ganti kerugian
pada Roy Marten serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Ganti rugi yang
harus di bayar oleh Roy Marten bisa pada ganti rugi atas pencemaran nama baik,
dan atas waktu serta tenaga yang telah dikeluarkan oleh orang yg punya tempat
tersebut itu sebagai ganti kerugian immateriil.
Sedangkan
untuk Rehabilitasinya Roy Marten tidak di Rehabilitasi pada kasus keduanya,
dikarenakan ia telah direhabilitasi pada kasus pertama. Selain itu Roy Marten
dianggap tidak bisa belajar dari kesalahan yang sebelumya, karena dia telah
melakukan residive pada kasus yang sama.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari materi
yang telah dipaparkan dalam makalah ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
didalam hukum acara pidana, mengatur tentang peraturan-peraturan, yang
berkaitan dengan kepentingan umum (hukum publik ). Lalu didalam hukum acara
pidana terdapat suatu pembahasan tentang pra peradilan dimana proses ini
dilaksanakan sebelum beracaranya dipengadilan, di dalam praperadilan terdapat adanya
suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, lalu setelah itu
dilakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh polisi yang bertindak sebagai
penyelidik, dalam penyelidikan tersebut polisi melakukan penyelidikan langsung
di TKP ( tempat kejadian perkara), setelah itu dilakukan penyidikan untuk
mencari buki dan berkas lalu di serahkan lah kepada ke jaksa, apakah berkas
yang ada sudah lengkap atau belum.
Dari kasus
yang kita ambil dalam makalah ini, kita mengambil kasus Roy marten dimana pada
tanggal 13 November 2007 Roy tertangkap dengan keempat temannya di Hotel
Novotel Surabaya di
Jalan Ngagel Surabaya dengan dugaan mengonsumsi shabu-shabu. Setelah melewati
persidangan akhirnya pengadilan tidak memenangkan kasus Roy marten. Roy
akhirnya dijatuhi vonis tiga tahun penjara serta denda Rp10 juta dengan
subsider tiga bulan kurungan.
hukum acaramakalahhukum-acara